Badan yang dzahir

Badan kita yang dzahir ini adalah pendzahiran diri kita yang batin. Diri kita yang batin itu gaib dari pandangan mata kasar.

Untuk melihat yang batin itu diperlukan bayangannya yaitu diri kita yang dzahir ini. Maka itulah dikatakan badan kasar itu hanya ‘sarung’ atau ‘tunggangan’ atau ‘sangkar’ bagi badan yang gaib itu.

Apabila nyawa berpisah dari badan, maka tinggallah badan itu dan lama kelamaan jadi  hancur kecuali dengan kehendak Allah, ada juga badan yang tidak hancur setelah lama nyawa meninggalkannya. Tetapi pada umumnya badan akan hancur binasa. Itulah dikatakan dari tanah kembali semula ke tanah.

Ada juga orang melihat dalam dunia ini ‘bayangan’ atau ‘badan’ orang yang telah lama meninggal dunia muncul berlakon dan beraksi sebagaimana hidupnya dalam dunia dahulu. Itu bukanlah badan orang itu sebenarnya.

Badannya telah hancur binasa. ‘bayangan’ atau ‘badan’ itu adalah dari unsur alam mithal.

Alam mithal adalah alam yang halus, yang penghuninya atau kandungannya tidak hancur. Ia bukan Roh semata-mata dan bukan pula badan semata-mata. Ia adalah antara kedua unsur itu.

Bahwa Diri kita terdiri dari tiga unsur yaitu unsur badan yang akan hancur kecuali yang dikehendaki Allah untuk tidak hancur, unsur mithal yang tidak hancur tetapi tersimpan dalam ‘alam mithal’ dan unsur ketiga ialah roh dan ini selama-lamanya hidup, tidak hancur dan tidak kembali lagi ke dunia nyata ini.

‘Badan’ atau ‘bayangan’ orang yang telah mati yang kelihatan oleh orang dalam dunia ini dan berlaku seperti mana ia hidup di dunia dahulu, sebenarnya adalah berunsur mithaliyyah (mithal). Sesekali ia kelihatan oleh orang yang hidup dalam dunia ini persis sebagaimana hidupnya dahulu, bahkan berkata-kata dengan orang yang berada dalam dunia ini. Ini telah banyak terjadi di mana saja dalam dunia ini, baik di Barat atau di Timur.

Setelah kita faham alam yang tiga itu, maka tidaklah kita heran kenapa ada orang yang  melihat si anu dan si anu padahal orang itu telah meninggal dunia. Alam mithal ini ada tetapi tidak kelihatan kecuali mereka yang dibukakan hijab untuk melihat alam itu dan para penghuninya.

Setiap orang hendaklah mengenal akan dirinya yang sebenar-benarnya, yaitu yang berunsur rohaniah, agar dia tidak mensia-siakan hidupnya di dunia fana ini.

Hidup kita bukan di dunia ini saja. Hidup kita berkelanjutan, kekal abadi tiada ujungnya. Nilai buruk atau baik bukan dilihat dari segi kekayaan harta, pangkat atau jabatan yang diperoleh di dunia ini. Melainkan nilai baik dan buruk seseorang bergantung kepada iman dan amal soleh seseorang itu.

Dengan kenalnya kita kepada diri yang sebenar itu, maka kita tidak akan putus asa, tidak takut, tidak bimbang dalam mengarungi bahtera hidup kita ini.

Hal ini karena kita tahu diri kita adalah kekasih Allah.

Sebenarnya Allah mengasih diri kita lebih dari ibu mengasihi anak kesayangannya.

Ia Maha Kasih Sayang terhadap hamba-hambanya.

Dengan mengenal diri kita, maka tidaklah kita takabur, sombong, congkak, dengki, iri hati, khianat karena kita tahu siapa diri kita sebenarnya.

Jika dinisbahkan dengan Allah swt, kita tiada apa-apa, hanya ayat-ayatNya saja.

Jika dinisbahkan dengan makhlukNya, diri kita adalah penguasa dan pengurus.

Allah menjadikan alam dan makhluk untuk kita, dan menjadikan kita untuk Dia.

…………..

Tinggalkan komentar